KAFAAH PERNIKAHAN

A.       APengertian Kafaah

Kafa’ah berasal dari bahasa Arab dari kata كفى , yang berarti sama atau setara. [1]Dalam istilah fikih, kafa’ah disebut dengan sejodoh, artinya ialah sama, serupa, seimbang, atau serasi.[2] Menurut H. Abd. Rahman Ghazali, Kafa’ah atau kufu, menurut bahasa artinya setaraf, seimbang, keserasian, kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding.[3] Menurut istilah hukum Islam yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu dalam perkawinan ialah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.[4] Menurut Tihami dan Sohari Sahrani dalam bukunya yang berjudul Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu dalam perkawinan menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan calon suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dengan kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian.[5]
 Dari definisi yang telah diterangkan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kafa’ah merupakan keseimbangan atau kesepadanan antara calon suami dan isteri dalam hal-hal tertentu, yaitu agama, nasab, pekerjaan, merdeka dan harta. 
baca juga:
Konsep Pernikahan Dalam Islam
Khitbah itu Apa Sih?
Sebab Wanita Haram Di Nikahi

    B. Dasar Hukum Kafa’ah
Islam menganjurkan agar adanya keseimbangan dan keserasian, kesepadanan dan kesebandingan antara kedua calon suami istri untuk dapat terbinanya dan terciptanya suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Kafa’ah merupakan suatu yang disyariatkan oleh Islam guna tercapainya tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi, hanya saja al-Qur’an tidak menyebutnya secara eksplisit. Akan tetapi, Islam memberi pedoman bagi orang yang ingin menikah untuk memilih jodoh yang baik dan benar sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 3
 الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”.

Dengan tegas ayat ini melarang pernikahan antara orang pezina (laki-laki atau perempuan) dengan orang mukmin. Dalam ayat ini pezina hanya diperbolehkan menikah dengan pezina atau orang musyrik. Ulama Hanbali dan Zhahiri menetapkan bahwa pernikahan dengan pezina (laki-laki atau perempuan) tidak dianggap sah sebelum mereka bertaubat. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebagian orang yang suka berzina itu enggan untuk menikah, karena antara kesalehan dengan perzinaan bertolak belakang, maka tidak mungkin sebuah rumah tangga bisa hidup tentram dan bahagia bila antara suami dan istri tidak sejalan kehidupannya. Adapun yang menyangkut perbedaan antara orang beriman dengan orang fasik terdapat dalam al Qur’an surat as-Sajadah ayat 18:
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Yang artinya: “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama”.
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa orang fasik tidak sama atau tidak setara dengan orang beriman, yang membedakan adalah tingkat kualitas keberagamaanya, disamping tidak sedarajat bahkan cenderung berlawanan arah yang dapat membawa dampak buruk terhadap kelangsungan hidup berumah tangga. Ayat lain yang membahas tentang kafa‟ah terdapat dalam Al-Qur‟an Surat An-Nur ayat 26:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki- laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)”.
Ayat di atas menerangkan dengan jelas bahwa perempuan-perempuan yang keji tidak setara dengan laki-laki yang baik, begitu pula sebaliknya, dan laki-laki yang baik tidak setara dengan perempuan-perempuan yang keji pula, begitupun sebaliknya. Ayat ini bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, agar dapat terealisasinya keluarga bahagia seperti yang diharapkan. Kemudian ada beberapa dasar hukum yang terdapat dalam Hadist yang membahas tentang kafa‟ah diantaranya adalah Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Abu Hurairah yang artinya: “Wanita itu dikawin karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka carilah wanita-wanita yang taat beragama, niscaya akan beruntung tangan kananmu”.[6]
Hadist ini jelas menerangkan pentingnya kafa’ah, namun hadist ini lebih menggambarkan kriteria-kriteria kafa’ah mulai dari segi agama, kecantikan, harta, dan keturunannya.

    C. Kriteria Kafaah
Para ulama Imam Madhab masih berbeda pendapat dalam memberi pengertian kafa’ah dalam perkawinan. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan ukuran dan kriteria kafaah yang mereka gunakan. Berdasarkan konsep kafaah seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya dengan mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan maupun hal lainnya. Adanya berbagai pertimbangan terhadap masalah-masalah tersebut agar supaya dalam kehidupan berumah tangga tidak didapati adanya ketimpangan atau ketidak  cocokkan. Selain itu secara psikologis seorang yang mendapat pasangan yang sesuai dengan keinginannya akan sangat membantu dalam proses sosialisasi menuju tercapainya kebahagiaan keluarga. Proses mencari jodoh memang tidak bias dilakukan secara asal asalan dan soal pilihan jodoh sendiri merupakan setengah dari suksesnya perkawinan.
Menurut ulama Hanafiyah kafaah adalah persamaan laki-laki dan perempuan dalam keturunan (nasab), agama (ad-din), pekerjaan (hirfah), merdeka (hurriyah), kualitas keberagamaan (diyanah), dan harta (al-mal).[8]Dan menurut ulama Malikiyyah yang menjadi kriteria kafaah dalam perkawinan hanyalah diyanah atau kualitas keberagamaan dan selamat dari cacat fisik. Sedangkan menurut ulama Shafi’iyyah, kafaah adalah persamaan suami dengan istri dalam kesempurnaan atau kekurangannya baik dalam hal agama (ad-din), keturunan (nasab), merdeka (hurriyah), pekerjaan (hirfah), dan selamat dari cacat yang memperbolehkan seorang perempuan untuk boleh melakukan khiyar terhadap suami. Dan menurut ulama Hanabilah, kafaah adalah persamaan suamni dengan istri dalam nilai ketakwaan, pekerjaan (hirfah), harta (al-mal), merdeka (hurriyah), dan keturunan (nasab).[8] Nabi Muhammad memberikan ajaran mengenai ukuran-ukuran kufu dalam perkawinan agar mendapatkan kebahagaiaan dalam berumah tangga, berdasarkan hadits Nabi SAW yang artinya, “Nikahilah perempuan karena empat perkara : pertama karena hartanya, kedua karena derajatnya, (nasabnya), ketiga kecantikannya, keempat agamanya, maka pilihlah karena agamanya, maka terpenuhi semua kebutuhanmu” Segi-segi kriteria yang dapat kita temui dari penjelasan kriteria kafaah di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:
    
    1. Keturunan (nasab)
Jalinan yang menghubungkan antara seseorang dengan nenek moyangnya. Seorang perempuan yang mengetahui keturunannya hanya akan setara dengan yang berketurunan sepertinya. Adapun orang yang tidak jelas keturunannya tidak akan setara, karena itu akan menimbulkan kehinaan baginya dan keluargannya.[9]Menurut Madzhab Hanafi telah mengkhususkan kesetaraan bahwa suami istri adalah orang Arab. Non Arab tidak setara dengan bangsa Arab, begitu pula orang Arab non-Quraisy tidak setara dengan kaum Quraisy. Hal itu sesuai dengan sabda Rasul,”Bangsa Arab itu satu sama lain setara”. Tapi beliau mengecualikan non-Arab yang berilmu, beliau bersabda, “dia setara dengan orang Arab, meskipun ia dari kaum Quraisy bani Hasyim, karena kemuliaan seorang muslim melebihi kemuliaan keturunan. Para ulama berbeda pendapat dalam menempatkan nasab (keturunan) sebagai kriteria kafaah. Jumhur ulama menempatkan nasab (keturunan) sebagai kriteria dalam kafaah, dalam pandangan ini orang yang bukan Arab tidak setara dengan Arab.
Ketinggian nasab orang Arab itu menurut mereka karena Nabi sendiri adalah orang Arab. Bahkan diantara sesama orang Arab, kabilah Quraisy lebih utama dibandingkan dengan bukan Quraisy. Alasanya yaitu Nabi sendiri adalah kabilah Quraisy. Sebagian ulama tidak menempatkan kebangsaan itu sebagai kriteria yang menentukan dalam kafa‟ah. Mereka berpedoman kepada kenyataan banyaknya terjadi perkawinan antar bangsa di waktu Nabi masih hidup dan Nabi tidak mempersoalkannya.[10]Nasab bagi bangsa Arab sangatlah dijunjung tinggi, bahkan menjadi kebanggaan tersendiri apabila mempunyai keturunan nasab yang luhur. Dikalangan masyarakat biasa nasab adalah garis keturunan ke atas dari bapak atau dari ibu, dalam menentukan pasangan hidup masyarakat biasa tidak terlalu mementingkan sebuah nasab, karena yang terpenting adalah kecocokan dari dua calon.[11]
    
    2.  Agama
Agama disini yang dimaksud adalah kebenaran dan kelurusan terhadap hukumhukum agama. Orang yang bermaksiat dan fasik tidak sebanding dengan perempuan suci atau perempuan shalihah yang merupakan anak salih atau perempuan yang lurus, dia dan keluarganya memiliki jiwa agamis dan memiliki akhlak terpuji. Kefasikan orang tersebut ditunjukan secara terang-terangan atau tidak secara terangterangan. Akan tetapi ada yang bersaksi bahwa dia melakukan perbuatan kefasikan. Karena kesaksian dan periwayatan orang yang fasik ditolak.[12] Hal ini merupakan suatu kekurangan pada sifat kemanusiaannya. Karena seorang perempuan merasa rendah dengan kefasikan suami, dibandingkan rasa malu yang dia rasakan akibat kekurangan nasabnya. Dia bukan orang yang sebanding bagi perempuan yang baik.[13]
Allah SWT berfirman dalam surat As-Sajadah ayat 18 yang artinya “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama”. Juga firman Allah SWT di dalam Al-Qur‟an surat An-Nuur ayat 3 yang artinya, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”.
Maksud dari ayat diatas adalah betapa pentingnya sebuah ukuran kafa’ah, tidaklah sama antara orang mukmin dengan orang yang fasiq, dan begitu juga seorang pezina tidak boleh mengawini wanita baik-baik. Sebagian Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang laki-laki fasik tidak sebanding dengan orang perempuan yang fasik, karena rasa malu yang datang kepada orang perempuan yang fasik lebih besar.[14]  Agama merupakan hal yang pokok dalam mewujudkan perkawinan yang  baik, kafa‟ah sangat memperhatikan tentang agama, kesucian dan ketakwaan. Dalam mencari calon pasangan hidup kita harus benar-benar mengetahui tentang agamanya, apakah sama dengan kita.

    3. Pekerjaan (hirfah)
Seorang perempuan dan suatu keluarga yang pekerjaannya terhormat tidak se kufu dengan laki-laki yang pekerjaanya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatnya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya pekerjaan terhormat pada suatu tempat, kemungkinan satu ketika dipandang tidak terhormat disuatu tempat dan masa yang lain.[15]
Pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang untuk mendapatkan rizkinya dan penghidupannya, termasuk diantaranya adalah pekerjaan di pemerintah. Jumhur fuqaha selain Madzhab Maliki memasukkan profesi kedalam unsur kafa‟ah, dengan menjadikan profesi suami atau keluarganya sebanding dan setara dengan profesi isteri dan keluarganya. Oleh sebab itu orang yang pekerjaanya rendah seperti tukang bekam, tiup api, tukang sapu, tukang sampah, penjaga, dan pengembala tidak setara dengan anak perempuan pemilik pabrik yang merupakan orang elite, ataupun seperti pedagang, dan tukang pakaian. Anak perempuan pedagang dan tukang pakaian tidak sebanding dengan anak perempuan ilmuan dan qadhi, berdasarkan tradisi yang ada. Sedangkan orang yang senantiasa melakukan kejelekan lebih rendah dari pada itu semua.[16]
Landasan yang dijadikan untuk tolak-ukur pekerjaan adalah tradisi. Hal ini berbeda dengan berbedanya zaman dan tempat. Bisa jadi suatu profesi dianggap rendah disuatu zaman kemudian menjadi mulia dimasa yang lain. Demikian juga bisa jadi sebuah profesi dipandang hina disebuah negeri dan dipandang tinggi di negeri yang lain. Sedangkan Madzhab Maliki tidak menjadikan profesi sebagai salah satu unsur kafaah.

    4. Merdeka (hurriyah)
Budak laki-laki tidak se-kufu dengan perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak se-kufu dengan perempuan yang sudah merdeka dari asal. Laki-laki yang saleh seorang neneknya pernah menjadi budak tidak se-kufu dengan perempuan yang neneknya tak pernah menjadi budak. Sebab perempuan merdeka bila kawin dengan laki-laki budak dianggap tercela. Begitu pula kawin oleh laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.[17] Syarat dalam kafa‟ah menurut jumhur yang terdiri atas Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali seorang budak walaupun hanya setengah, tidak sebanding dengan perempuan merdeka, meskipun dia adalah bekas budak yang telah dimerdekakan, karena dia memiliki kekurangan akibat perbudakan yang membuat dia terlarang untuk bertindak mencari pekerja selain pemiliknya. karena yang merdeka merasa malu berbesanan dengan budak-budak, sebagai mana dia merasa malu berbesanan dengan tidak sederajat dengan mereka dalam nasab dan kehormatan.[18]
Madzhab Syafi’i dan Hanafi juga mensyaratkan kemerdekaan asalusul. Oleh sebab itu, siapa saja yang salah satu kakek moyangnya budak tidak sebanding dengan orang yang asalnya merdeka, atau orang yang bapaknya budak kemudian dikemerdekakan. Demikian juga orang yang mempunyai dua orang kakek moyang merdeka tidak sebanding dengan orang yang memiliki satu orang bapak merdeka. Madzhab Hanafi dan Syafi’i menambahkan bahwa orang yang dikemerdekakan tidak setara bagi orang perempuan yang asli merdeka, karena orang yang merdeka merasa malu berbesanan dengan orang-orang yang dimerdekakan, sebagaimana ia merasa malu berbesanan dengan budak. Madzhab Hanbali berpendapat semua orang yang dimerdekakan setara dengan perempuan yang merdeka. Sedangkan Madzhab Maliki tidak mensyaratkan kemerdekaan dalam kafaah.20 Kemerdekaan seseorang tidak terlepas dari zaman perbudakan masa lalu, seseorang yang mempunyai keturunan atau yang pernah menjadi budak maka dianggap tidak se-kufu dengan orang yang merdeka asli. Derajat seorang budak tidak akan pernah sama dengan orang yang merdeka.

    5. Islam (islam)
Syarat yang diajukan hanya oleh Madzhab Hanafi bagi orang selain Arab, bertentangan dengan Jumhur fuqaha. Yang dimaksudkan adalah Islam asalusulnya, yaitu nenek moyangnya. Barang siapa yang memiliki dua nenek moyang muslim sebanding dengan orang yang memiliki beberapa nenek moyang Islam. Orang yang memiliki satu nenek moyang Islam tidak sebanding dengan orang yang memiliki dua orang nenek moyang Islam, karena kesempurnaan nasab terdiri dari bapak dan kakek.[20]
Dalil Madzhab Hanafi bagi orang selain Arab adalah, sesungguhnya identitas seseorang sempurna dengan bapak dan kakek. Jika bapak dan kakek orang muslim, maka nasab Islamnya sempurna. Sifat ini tidak dianggap pada orang yang selain Arab, karena setelah masuk Islam yang menjadi kebanggaan adalah Islam, Islam merupakan kemulyaan bagi mereka yang menempati nasab. Mereka tidak merasa bangga terhadap Islam asal-usul mereka. Ada pun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsabangsa lain mereka merasa dirinya terangkat dengan menjadi orang Islam. Karena itu jika perempuan muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak se-kufu dengan laki-laki yang ayah dan neneknya tidak beragama Islam, dan perempuan yang ayah neneknya beragama Islam sekufu dengan laki-laki yang ayah dan neneknya beragama Islam. Karena untuk mengenal tanda-tanda seorang sudah cukup hanya diketahui siapa ayah dan datuknya, dan tak perlu yang lebih atas lagi.[21]
Abu Yusuf berpendapat: seorang laki-laki yang ayahnya saja Islam se-kufu dengan perempuan yang ayah dan neneknya Islam. karena untuk mengenal lakilaki cukup hanya dikenal ayahnya saja. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa: untuk mengenal laki-laki tidaklah cukup,.Orang Islam se-kufu dengan yang Islam lainnya. Ini berlaku bagi orang-orang bukan Arab. Adapun di kalangan bangsa Arab tidak berlaku. Sebab mereka ini merasa se-kufu dengan ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan berharga dengan Islam, Adapun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsa-bangsa lain, mereka merasa dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena itu jika perempuan Muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu dengan laki-laki Muslim yang ayah dan neneknya tidak beragama Islam.

    6. Harta (al-mal)
Harta kekayaan yang dimaksud adalah nilai tambah kesetaraan dalam hal harta dimana pada harta hanya disyaratkan cukup dengan kemampuan memberi nafkah dan membayar mas kawin. Sedangkan ukuran kesetaraan dalam hal kekayaan adalah kesetaraan atau kedekatan jumlah kekayaan antara suami dan istri. Jadi siapa yang kekayaannya terbatas tidak setara dengan istri yang mempunyai kekayaan yang berlimpah.[22]
Mengenai masalah kesetaraan kekayaan Abu Hanifah berpendapat bahwa orang saling berbangga-bangga dengan kekayaan mereka. Beberapa kisah telah menguatkan pendapatnya, diantaranya adalah sabda Nabi Saw, kepada Fatimah binti Qais ketika beliau memberitahukannya tentang pinangan Mu‟awiyyah kepadanya, lalu Nabi menjawab “Mu‟awiyah adalah orang miskin yang tidak mempunyai harta”. Begitu pula perkataan Sayidah Aisyah r.a., “aku melihat orang kaya itu disanjung dan orang miskin itu dihina”, dan beliau juga berkata “sesungguhnya keturunan penghuni itu dibangun dengan kekayaan”.[23]
Adapun menurut pendapat Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Maliki. Yaitu tidak mempersalahkan kesetaraan dalam hal kekayaan, karena harta benda itu datang dan pergi. Serta orang fakir hari ini bisa menjadi kaya esok hari.

    7. Bebas dari cacat.
Murid-murid Syafi’i dan riwayat Ibnu Nashr dari Malik, bahwa salah satu syarat kufu adalah selamat dari cacat. Bagi laki-laki yang mempunyai cacat jasmani mencolok, dia tidak se-kufu dengan perempuan yang sehat dan normal. Jika cacatnya tidak begitu menonjol, tetapi kurang disenangi secara pandangan lahiriyah, seperti : buta, tangan buntung, atau perawakannya jelek, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Rauyani berpendapat bahwa lelaki yang seperti ini tidaklah se-kufu dengan perempuan yang sehat. Tetapi golongan Hanafi dan Hanbali tidak menerima pendapat ini. Dalam kitab Al Mughni dikatakan : sehat dari cacat tidak termasuk dalam syarat kafa‟ah. Karena tidak seorang pun yang menyalahi pendapat ini, yaitu kawinnya orang yang cacat itu tidak batal.[24]
Pihak perempuanlah mempunyai hak untuk menerima atau menolak, dan bukan walinya karena resikonya tentu dirasakan oleh perempuan. Tapi bagi wali perempuan boleh mencegahnya untuk kawin dengan lakilaki bule, gila, tangannya bunting, atau kehilangan jari-jarinya.[25] Seperti gila dan lepra Madzhab Syafi‟i dan Maliki menganggapnya sebagaisalah satu unsur kafa‟ah, oleh karena itu orang laki-laki dan perempuan yangmemiliki cacat tidak sebanding dengan orang yang terbebas dari cacat karena jiwa merasa enggan untuk menemani orang yang memiliki sebagian aib, sehingga dihawatirkan pernikahan akan terganggu. Madzhab Hanafi dan Hanbali tidak menganggap adanya cacat sebagai salah satu syarat kafa‟ah. Akan tetapi hal ini
memberikan hak untuk memimlih dari pihak perempuan, bukan kepada walinya karena kerugian terbatas pada dirinya. Walinya berhak mencegahnya menikahi orang yang terkena penyakit lepra, kusta, dan gila. Pendapat ini paling utama karenasifat kafa‟ah merupakan hak bagi setiap perempuan dan wali.[26]

    D. Waktu Menetapkan Kafa’ah
Waktu yang ditetapkan untuk menentukan apakah calon-calon mempelai telah
sekufu’ atau belum, itu letaknya pada waktu akan dilaksanakan akad nikah. Menurut H. S. A. Al-Hamdani tentang berlakunya kafa’ah‘ yaitu dinilai pada waktu terjadinya akad. Apabila keduanya berubah sesudah terjadinya akad maka tidak mempengaruhi akad karena syarat akan diteliti pada waktu akad.[27]
Oleh sebab itu apabila seseorang pada waktu akad mempunyai pencaharian yang terhormat, mampu memberi nafkah atau orangnya sholeh, kemudian berubah menjadi hina, tidak sanggup memberi nafkah atau fasiq terhadap perintah Allah SWT dan semuanya itu terjadi setelah dilangsungkan perkawinan, maka akadnya tetap berlaku.
Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sesudah dilangsungkan pernikahan, maka hendaknya pihak yang mempunyai hak dalam menentukan kafa’ah‘ menyatakan pendapatnya tentang kedua mempelai pada saat akad nikah. Dan sebaliknya persetujuan tentang kafa’ah‘ ini dicatat oleh pihak-pihak yang berhak sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti seandainya ada pihak yang akan menggugat di kemudian hari.
Hal semacam ini mengandung hikmah supaya perkawinan yang dilangsungkan itubetul-betul diteliti terlebih dahulu dan seorang yang akan mau menikah harus mempunyai niat yang sungguh-sungguh agar tidak ada penyesalan dalam pernikahan.
Dalam Fiqh Sunnah dijelaskan bahwa kufu’ diukur ketika berlangsungnya akadnikah. Jika selesai akad nikah terjadi kekurangan-kekurangan, hal itu tidaklah mengganggu dan tidak dapat membatalkan sedikitpun apa yang sudah terjadi, serta tidak mempengaruhi hukum akad nikahnya. Jika pada waktu berlakunya akad nikah, suami memiliki pekerjaan terhormat dan mampu memberi nafkah istrinya atau dia seorang yang salah, tetapi di  kemudian hari ada perubahan, misalnya pekerjaannya kasar, atau tidak mampu lagi memberi nafkah, atau setelah kawin berbuat durhaka kepada Allah, maka akad nikahnya tetap sah seperti sebelumnya. Memang masa itu berbolak-balik dan manusia tidak selamanya langgeng keadaannya dalam satu sifat saja. Karena itulah istri harus dapat menerima kenyataannya, bersabar dan bertaqwa kepada Allah. Karena sabar dan bertakwa kepada Allah merupakan watak orang-orang yang besar.[28]


DAFTAR PUSTAKA
1 Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, Cet ke-3, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 140
2 Kamal Mukhtar, “Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan”, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm.. 69.
3 M. Abdul Mujib dkk, “Kamus Istilah Fikih”, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 147.
4 Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”, Cet ke-3, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, hlm. 96
5 Tihami dan Sohari Sahrani, “Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap ”, Serang: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 56.
6.  Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Mughiroh bin Bardizbah Al-Ju‟fiy Al-Bukhori, “Shahih Bukhari”, Tk: Daar Ihya‟, t.th, Vol XVIII, hlm. 27.
7.  Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab.., hlm.350
8.  Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Pernikahan Islam).., hlm. 23
9.  Muhammad Thalib, “Manajemen Keluarga Sakinah”, Yogyakarta: Pro-U Media, 2007, hlm. 127
10. Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, Cet ke-3, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 143.
11. Wahbah az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 226.
12. M. A. Tihami, Sohari Sahrani, “Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 56
13. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 223.
14. Wahbah az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 224.
15. Sayyid Sabiq, “Fikih Sunnah”, Bandung: Al-ma‟arif, 1997, hlm. 45.
16. Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Al-Imam Ja‟far Ash-Shadiq Ardh Wal Istidlal”, Jakarta: Lentera, 2009, Vol V dan VI, hlm. 317.
17. Sayyid Sabiq, “Fikih Sunnah”, Bandung: Al-ma‟arif, 1997, hlm. 45
18. Syaikh Ahmad Jad, “Fikih Sunnah Wanita”, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 399.
19.  Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 225.
2O. Ibid, hlm. 224.
21.  Wahbah az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 224.
22  Muhammad Thalib, “Manajemen Keluarga Sakinah”, Yogyakarta: Pro-U Media, 2007, hlm. 152.
23. Muhammad Thalib, “Manajemen Keluarga Sakinah”, Yogyakarta: Pro-U Media, 2007, hlm. 152
24.  Sayyid Sabiq, “Fikih Sunnah”, Bandung: Al-ma‟arif, 1997, hlm. 47.
25. Ibid,, hlm. 47
26.  Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 97
27. H. S. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, hlm. 105
28. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3, Terjemah oleh Nur Hasanuddin, hlm. 38

kuliah0nline Nama panggilan saya Devid. Saya sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi yang ada di sumatera barat dengan jurusan Hukum Keluarga

0 Response to "KAFAAH PERNIKAHAN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel