KAFAAH PERNIKAHAN
Saturday, July 4, 2020
Add Comment
A. A, Pengertian Kafaah
Kafa’ah berasal dari
bahasa Arab dari kata كفى ,
yang berarti sama atau setara. [1]Dalam
istilah fikih, kafa’ah disebut dengan sejodoh, artinya ialah sama, serupa,
seimbang, atau serasi.[2] Menurut H. Abd. Rahman Ghazali, Kafa’ah atau kufu, menurut
bahasa artinya setaraf, seimbang, keserasian, kesesuaian, serupa, sederajat
atau sebanding.[3] Menurut istilah hukum Islam yang dimaksud dengan
kafa’ah atau kufu dalam perkawinan ialah keseimbangan dan keserasian antara
calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat
untuk melangsungkan perkawinan.[4] Menurut
Tihami dan Sohari Sahrani dalam bukunya yang berjudul Fikih Munakahat Kajian
Fikih Nikah Lengkap, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu
dalam perkawinan menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan
keserasian antara calon istri dan calon suami sehingga masing-masing
calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau
laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dengan kedudukan, sebanding
dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam
kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian.[5]
Dari definisi yang telah diterangkan di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa kafa’ah merupakan keseimbangan atau kesepadanan
antara calon suami dan isteri dalam hal-hal tertentu, yaitu agama, nasab,
pekerjaan, merdeka dan harta.
baca juga:
Konsep Pernikahan Dalam Islam
Khitbah itu Apa Sih?
Sebab Wanita Haram Di Nikahi
baca juga:
Konsep Pernikahan Dalam Islam
Khitbah itu Apa Sih?
Sebab Wanita Haram Di Nikahi
B. Dasar Hukum Kafa’ah
Islam menganjurkan agar adanya
keseimbangan dan keserasian, kesepadanan dan kesebandingan antara kedua calon
suami istri untuk dapat terbinanya dan terciptanya suatu rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah. Kafa’ah merupakan suatu yang disyariatkan oleh
Islam guna tercapainya tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi, hanya saja
al-Qur’an tidak menyebutnya secara eksplisit. Akan tetapi, Islam memberi
pedoman bagi orang yang ingin menikah untuk memilih jodoh yang baik dan benar
sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 3
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا
زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ
مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina,atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik,
dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”.
Dengan tegas ayat ini
melarang pernikahan antara orang pezina (laki-laki atau perempuan) dengan orang mukmin. Dalam ayat ini pezina
hanya diperbolehkan menikah dengan pezina atau orang musyrik. Ulama Hanbali dan
Zhahiri menetapkan bahwa pernikahan dengan pezina (laki-laki atau perempuan) tidak
dianggap sah sebelum mereka bertaubat. Sebagian ulama berpendapat bahwa
sebagian orang yang suka berzina itu enggan untuk menikah, karena antara
kesalehan dengan perzinaan bertolak belakang, maka tidak mungkin sebuah rumah tangga
bisa hidup tentram dan bahagia bila antara suami dan istri tidak sejalan
kehidupannya. Adapun yang menyangkut perbedaan antara orang beriman dengan
orang fasik terdapat dalam al Qur’an surat as-Sajadah ayat 18:
تَتَجَافَىٰ
جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Yang artinya: “Apakah orang-orang beriman itu sama
dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak
sama”.
Berdasarkan ayat di atas
dapat dipahami bahwa orang fasik tidak sama atau tidak setara dengan orang
beriman, yang membedakan adalah tingkat kualitas keberagamaanya, disamping
tidak sedarajat bahkan cenderung berlawanan arah yang dapat membawa dampak
buruk terhadap kelangsungan hidup berumah tangga. Ayat lain yang membahas tentang
kafa‟ah terdapat dalam Al-Qur‟an Surat An-Nur ayat 26:
الْخَبِيثَاتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ
لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki
yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula),
sedangkan perempuan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-
laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu).
Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)”.
Ayat di atas menerangkan
dengan jelas bahwa perempuan-perempuan yang keji tidak setara dengan laki-laki
yang baik, begitu pula sebaliknya, dan laki-laki yang baik tidak setara dengan
perempuan-perempuan yang keji pula, begitupun sebaliknya. Ayat ini bertujuan
untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, agar dapat terealisasinya
keluarga bahagia seperti yang diharapkan. Kemudian ada beberapa dasar hukum
yang terdapat dalam Hadist yang membahas tentang kafa‟ah diantaranya adalah
Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Abu Hurairah yang artinya:
“Wanita itu dikawin karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya.
Maka carilah wanita-wanita yang taat beragama, niscaya akan beruntung tangan
kananmu”.[6]
Hadist ini jelas
menerangkan pentingnya kafa’ah, namun hadist ini lebih menggambarkan
kriteria-kriteria kafa’ah mulai dari segi agama, kecantikan, harta, dan keturunannya.
C. Kriteria Kafaah
Para ulama Imam Madhab
masih berbeda pendapat dalam memberi pengertian kafa’ah dalam perkawinan. Perbedaan ini terkait dengan
perbedaan ukuran dan kriteria kafaah yang mereka gunakan. Berdasarkan konsep
kafaah seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya dengan
mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan maupun hal lainnya. Adanya
berbagai pertimbangan terhadap masalah-masalah tersebut agar supaya dalam
kehidupan berumah tangga tidak didapati adanya ketimpangan atau ketidak cocokkan. Selain itu secara psikologis seorang
yang mendapat pasangan yang sesuai dengan keinginannya akan sangat membantu
dalam proses sosialisasi menuju tercapainya kebahagiaan keluarga. Proses
mencari jodoh memang tidak bias dilakukan secara asal asalan dan soal pilihan
jodoh sendiri merupakan setengah dari suksesnya perkawinan.
Menurut ulama Hanafiyah
kafaah adalah persamaan laki-laki dan perempuan dalam keturunan (nasab), agama
(ad-din), pekerjaan (hirfah), merdeka (hurriyah), kualitas keberagamaan
(diyanah), dan harta (al-mal).[8]Dan menurut ulama Malikiyyah yang menjadi kriteria
kafaah dalam perkawinan hanyalah diyanah atau kualitas keberagamaan dan selamat
dari cacat fisik. Sedangkan menurut ulama Shafi’iyyah, kafaah adalah persamaan
suami dengan istri dalam kesempurnaan atau kekurangannya baik dalam hal agama
(ad-din), keturunan (nasab), merdeka (hurriyah), pekerjaan (hirfah), dan
selamat dari cacat yang memperbolehkan seorang perempuan untuk boleh melakukan
khiyar terhadap suami. Dan menurut ulama Hanabilah, kafaah adalah persamaan suamni
dengan istri dalam nilai ketakwaan, pekerjaan (hirfah), harta (al-mal), merdeka
(hurriyah), dan keturunan (nasab).[8] Nabi Muhammad memberikan ajaran mengenai ukuran-ukuran
kufu dalam perkawinan agar mendapatkan kebahagaiaan dalam berumah tangga,
berdasarkan hadits Nabi SAW yang artinya, “Nikahilah perempuan karena empat
perkara : pertama karena hartanya, kedua karena derajatnya, (nasabnya), ketiga
kecantikannya, keempat agamanya, maka pilihlah karena agamanya, maka terpenuhi
semua kebutuhanmu” Segi-segi kriteria yang dapat kita temui dari penjelasan
kriteria kafaah di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Keturunan (nasab)
Jalinan yang
menghubungkan antara seseorang dengan nenek moyangnya. Seorang perempuan yang
mengetahui keturunannya hanya akan setara dengan yang berketurunan sepertinya.
Adapun orang yang tidak jelas keturunannya tidak akan setara, karena itu akan
menimbulkan kehinaan baginya dan keluargannya.[9]Menurut
Madzhab Hanafi telah mengkhususkan kesetaraan bahwa suami istri adalah orang Arab.
Non Arab tidak setara dengan bangsa Arab, begitu pula orang Arab non-Quraisy
tidak setara dengan kaum Quraisy. Hal itu sesuai dengan sabda Rasul,”Bangsa
Arab itu satu sama lain setara”. Tapi beliau mengecualikan non-Arab yang berilmu,
beliau bersabda, “dia setara dengan orang Arab, meskipun ia dari kaum Quraisy
bani Hasyim, karena kemuliaan seorang muslim melebihi kemuliaan keturunan. Para
ulama berbeda pendapat dalam menempatkan nasab (keturunan) sebagai kriteria
kafaah. Jumhur ulama menempatkan nasab (keturunan) sebagai kriteria dalam kafaah,
dalam pandangan ini orang yang bukan Arab tidak setara dengan Arab.
Ketinggian nasab orang
Arab itu menurut mereka karena Nabi sendiri adalah orang Arab. Bahkan diantara
sesama orang Arab, kabilah Quraisy lebih utama dibandingkan dengan bukan
Quraisy. Alasanya yaitu Nabi sendiri adalah kabilah Quraisy. Sebagian ulama
tidak menempatkan kebangsaan itu sebagai kriteria yang menentukan dalam kafa‟ah.
Mereka berpedoman kepada kenyataan banyaknya terjadi perkawinan antar bangsa di
waktu Nabi masih hidup dan Nabi tidak mempersoalkannya.[10]Nasab
bagi bangsa Arab sangatlah dijunjung tinggi, bahkan menjadi kebanggaan
tersendiri apabila mempunyai keturunan nasab yang luhur. Dikalangan masyarakat
biasa nasab adalah garis keturunan ke atas dari bapak atau dari ibu, dalam menentukan
pasangan hidup masyarakat biasa tidak terlalu mementingkan sebuah nasab, karena
yang terpenting adalah kecocokan dari dua calon.[11]
2. Agama
Agama disini yang
dimaksud adalah kebenaran dan kelurusan terhadap hukumhukum agama. Orang yang
bermaksiat dan fasik tidak sebanding dengan perempuan suci atau perempuan
shalihah yang merupakan anak salih atau perempuan yang lurus, dia dan
keluarganya memiliki jiwa agamis dan memiliki akhlak terpuji. Kefasikan orang
tersebut ditunjukan secara terang-terangan atau tidak secara terangterangan.
Akan tetapi ada yang bersaksi bahwa dia melakukan perbuatan kefasikan. Karena
kesaksian dan periwayatan orang yang fasik ditolak.[12] Hal
ini merupakan suatu kekurangan pada sifat kemanusiaannya. Karena seorang
perempuan merasa rendah dengan kefasikan suami, dibandingkan rasa malu yang dia
rasakan akibat kekurangan nasabnya. Dia bukan orang yang sebanding bagi perempuan
yang baik.[13]
Allah SWT berfirman
dalam surat As-Sajadah ayat 18 yang artinya “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang
fasik? mereka tidak sama”. Juga firman Allah SWT di dalam Al-Qur‟an surat
An-Nuur ayat 3 yang artinya, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik,
dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”.
Maksud dari ayat diatas
adalah betapa pentingnya sebuah ukuran kafa’ah, tidaklah sama antara orang
mukmin dengan orang yang fasiq, dan begitu juga seorang pezina tidak boleh
mengawini wanita baik-baik. Sebagian Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang
laki-laki fasik tidak sebanding dengan orang perempuan yang fasik, karena rasa
malu yang datang kepada orang perempuan yang fasik lebih besar.[14] Agama merupakan hal yang pokok dalam mewujudkan
perkawinan yang baik, kafa‟ah sangat
memperhatikan tentang agama, kesucian dan ketakwaan. Dalam mencari calon
pasangan hidup kita harus benar-benar mengetahui tentang agamanya, apakah sama
dengan kita.
Seorang perempuan dan
suatu keluarga yang pekerjaannya terhormat tidak se kufu dengan laki-laki yang
pekerjaanya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatnya
antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk
mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan
masyarakat setempat. Sebab adakalanya pekerjaan terhormat pada suatu tempat,
kemungkinan satu ketika dipandang tidak terhormat disuatu tempat dan masa yang
lain.[15]
Pekerjaan yang dimaksud
adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang untuk mendapatkan rizkinya dan
penghidupannya, termasuk diantaranya adalah pekerjaan di pemerintah. Jumhur
fuqaha selain Madzhab Maliki memasukkan profesi kedalam unsur kafa‟ah, dengan
menjadikan profesi suami atau keluarganya sebanding dan setara dengan profesi
isteri dan keluarganya. Oleh sebab itu orang yang pekerjaanya rendah seperti
tukang bekam, tiup api, tukang sapu, tukang sampah, penjaga, dan pengembala
tidak setara dengan anak perempuan pemilik pabrik yang merupakan orang elite,
ataupun seperti pedagang, dan tukang pakaian. Anak perempuan pedagang dan
tukang pakaian tidak sebanding dengan anak perempuan ilmuan dan qadhi,
berdasarkan tradisi yang ada. Sedangkan orang yang senantiasa melakukan
kejelekan lebih rendah dari pada itu semua.[16]
Landasan yang dijadikan
untuk tolak-ukur pekerjaan adalah tradisi. Hal ini berbeda dengan berbedanya
zaman dan tempat. Bisa jadi suatu profesi dianggap rendah disuatu zaman
kemudian menjadi mulia dimasa yang lain. Demikian juga bisa jadi sebuah profesi
dipandang hina disebuah negeri dan dipandang tinggi di negeri yang lain.
Sedangkan Madzhab Maliki tidak menjadikan profesi sebagai salah satu unsur
kafaah.
4. Merdeka (hurriyah)
Budak laki-laki tidak
se-kufu dengan perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak
se-kufu dengan perempuan yang sudah merdeka dari asal. Laki-laki yang saleh
seorang neneknya pernah menjadi budak tidak se-kufu dengan perempuan yang
neneknya tak pernah menjadi budak. Sebab perempuan merdeka bila kawin dengan
laki-laki budak dianggap tercela. Begitu pula kawin oleh laki-laki yang salah
seorang neneknya pernah menjadi budak.[17] Syarat
dalam kafa‟ah menurut jumhur yang terdiri atas Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan
Hanbali seorang budak walaupun hanya setengah, tidak sebanding dengan perempuan
merdeka, meskipun dia adalah bekas budak yang telah dimerdekakan, karena dia
memiliki kekurangan akibat perbudakan yang membuat dia terlarang untuk
bertindak mencari pekerja selain pemiliknya. karena yang merdeka merasa malu
berbesanan dengan budak-budak, sebagai mana dia merasa malu berbesanan dengan
tidak sederajat dengan mereka dalam nasab dan kehormatan.[18]
Madzhab Syafi’i dan
Hanafi juga mensyaratkan kemerdekaan asalusul. Oleh sebab itu, siapa saja yang
salah satu kakek moyangnya budak tidak sebanding dengan orang yang asalnya
merdeka, atau orang yang bapaknya budak kemudian dikemerdekakan. Demikian juga
orang yang mempunyai dua orang kakek moyang merdeka tidak sebanding dengan
orang yang memiliki satu orang bapak merdeka. Madzhab Hanafi dan Syafi’i
menambahkan bahwa orang yang dikemerdekakan tidak setara bagi orang perempuan
yang asli merdeka, karena orang yang merdeka merasa malu berbesanan dengan
orang-orang yang dimerdekakan, sebagaimana ia merasa malu berbesanan dengan
budak. Madzhab Hanbali berpendapat semua orang yang dimerdekakan setara dengan
perempuan yang merdeka. Sedangkan Madzhab Maliki tidak mensyaratkan kemerdekaan
dalam kafaah.20 Kemerdekaan seseorang tidak terlepas dari zaman perbudakan masa
lalu, seseorang yang mempunyai keturunan atau yang pernah menjadi budak maka dianggap
tidak se-kufu dengan orang yang merdeka asli. Derajat seorang budak tidak akan
pernah sama dengan orang yang merdeka.
Syarat yang diajukan
hanya oleh Madzhab Hanafi bagi orang selain Arab, bertentangan dengan Jumhur
fuqaha. Yang dimaksudkan adalah Islam asalusulnya, yaitu nenek moyangnya.
Barang siapa yang memiliki dua nenek moyang muslim sebanding dengan orang yang
memiliki beberapa nenek moyang Islam. Orang yang memiliki satu nenek moyang
Islam tidak sebanding dengan orang yang memiliki dua orang nenek moyang Islam,
karena kesempurnaan nasab terdiri dari bapak dan kakek.[20]
Dalil Madzhab Hanafi
bagi orang selain Arab adalah, sesungguhnya identitas seseorang sempurna dengan
bapak dan kakek. Jika bapak dan kakek orang muslim, maka nasab Islamnya
sempurna. Sifat ini tidak dianggap pada orang yang selain Arab, karena setelah
masuk Islam yang menjadi kebanggaan adalah Islam, Islam merupakan kemulyaan
bagi mereka yang menempati nasab. Mereka tidak merasa bangga terhadap Islam
asal-usul mereka. Ada pun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsabangsa
lain mereka merasa dirinya terangkat dengan menjadi orang Islam. Karena itu
jika perempuan muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak se-kufu
dengan laki-laki yang ayah dan neneknya tidak beragama Islam, dan perempuan
yang ayah neneknya beragama Islam sekufu dengan laki-laki yang ayah dan
neneknya beragama Islam. Karena untuk mengenal tanda-tanda seorang sudah cukup
hanya diketahui siapa ayah dan datuknya, dan tak perlu yang lebih atas lagi.[21]
Abu Yusuf berpendapat:
seorang laki-laki yang ayahnya saja Islam se-kufu dengan perempuan yang ayah
dan neneknya Islam. karena untuk mengenal lakilaki cukup hanya dikenal ayahnya
saja. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa: untuk mengenal laki-laki tidaklah
cukup,.Orang Islam se-kufu dengan yang Islam lainnya. Ini berlaku bagi
orang-orang bukan Arab. Adapun di kalangan bangsa Arab tidak berlaku. Sebab
mereka ini merasa se-kufu dengan ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan
berharga dengan Islam, Adapun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan
bangsa-bangsa lain, mereka merasa dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena
itu jika perempuan Muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu
dengan laki-laki Muslim yang ayah dan neneknya tidak beragama Islam.
Harta kekayaan yang
dimaksud adalah nilai tambah kesetaraan dalam hal harta dimana pada harta hanya
disyaratkan cukup dengan kemampuan memberi nafkah dan membayar mas kawin.
Sedangkan ukuran kesetaraan dalam hal kekayaan adalah kesetaraan atau kedekatan
jumlah kekayaan antara suami dan istri. Jadi siapa yang kekayaannya terbatas
tidak setara dengan istri yang mempunyai kekayaan yang berlimpah.[22]
Mengenai masalah
kesetaraan kekayaan Abu Hanifah berpendapat bahwa orang saling berbangga-bangga
dengan kekayaan mereka. Beberapa kisah telah menguatkan pendapatnya,
diantaranya adalah sabda Nabi Saw, kepada Fatimah binti Qais ketika beliau
memberitahukannya tentang pinangan Mu‟awiyyah kepadanya, lalu Nabi menjawab “Mu‟awiyah
adalah orang miskin yang tidak mempunyai harta”. Begitu pula perkataan Sayidah Aisyah
r.a., “aku melihat orang kaya itu disanjung dan orang miskin itu dihina”, dan
beliau juga berkata “sesungguhnya keturunan penghuni itu dibangun dengan
kekayaan”.[23]
Adapun menurut pendapat
Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Maliki. Yaitu tidak mempersalahkan kesetaraan
dalam hal kekayaan, karena harta benda itu datang dan pergi. Serta orang fakir
hari ini bisa menjadi kaya esok hari.
Murid-murid Syafi’i dan
riwayat Ibnu Nashr dari Malik, bahwa salah satu syarat kufu adalah selamat dari
cacat. Bagi laki-laki yang mempunyai cacat jasmani mencolok, dia tidak se-kufu
dengan perempuan yang sehat dan normal. Jika cacatnya tidak begitu menonjol,
tetapi kurang disenangi secara pandangan lahiriyah, seperti : buta, tangan
buntung, atau perawakannya jelek, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Rauyani
berpendapat bahwa lelaki yang seperti ini tidaklah se-kufu dengan perempuan
yang sehat. Tetapi golongan Hanafi dan Hanbali tidak menerima pendapat ini.
Dalam kitab Al Mughni dikatakan : sehat dari cacat tidak termasuk dalam syarat
kafa‟ah. Karena tidak seorang pun yang menyalahi pendapat ini, yaitu kawinnya
orang yang cacat itu tidak batal.[24]
Pihak perempuanlah
mempunyai hak untuk menerima atau menolak, dan bukan walinya karena resikonya
tentu dirasakan oleh perempuan. Tapi bagi wali perempuan boleh mencegahnya
untuk kawin dengan lakilaki bule, gila, tangannya bunting, atau kehilangan
jari-jarinya.[25] Seperti gila dan lepra Madzhab Syafi‟i dan Maliki
menganggapnya sebagaisalah satu unsur kafa‟ah, oleh karena itu orang laki-laki
dan perempuan yangmemiliki cacat tidak sebanding dengan orang yang terbebas
dari cacat karena jiwa merasa enggan untuk menemani orang yang memiliki
sebagian aib, sehingga dihawatirkan pernikahan akan terganggu. Madzhab Hanafi
dan Hanbali tidak menganggap adanya cacat sebagai salah satu syarat kafa‟ah.
Akan tetapi hal ini
memberikan hak untuk memimlih dari pihak perempuan,
bukan kepada walinya karena kerugian terbatas pada dirinya. Walinya berhak
mencegahnya menikahi orang yang terkena penyakit lepra, kusta, dan gila. Pendapat
ini paling utama karenasifat kafa‟ah merupakan hak bagi setiap perempuan dan
wali.[26]
D. Waktu Menetapkan Kafa’ah
Waktu yang ditetapkan
untuk menentukan apakah calon-calon mempelai telah
sekufu’ atau belum, itu letaknya pada waktu akan
dilaksanakan akad nikah. Menurut H. S. A. Al-Hamdani tentang berlakunya
kafa’ah‘ yaitu dinilai pada waktu terjadinya akad. Apabila keduanya berubah
sesudah terjadinya akad maka tidak mempengaruhi akad karena syarat akan
diteliti pada waktu akad.[27]
Oleh sebab itu apabila
seseorang pada waktu akad mempunyai pencaharian yang terhormat, mampu memberi
nafkah atau orangnya sholeh, kemudian berubah menjadi hina, tidak sanggup
memberi nafkah atau fasiq terhadap perintah Allah SWT dan semuanya itu terjadi
setelah dilangsungkan perkawinan, maka akadnya tetap berlaku.
Untuk menghindari
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sesudah dilangsungkan pernikahan, maka
hendaknya pihak yang mempunyai hak dalam menentukan kafa’ah‘ menyatakan
pendapatnya tentang kedua mempelai pada saat akad nikah. Dan sebaliknya
persetujuan tentang kafa’ah‘ ini dicatat oleh pihak-pihak yang berhak sehingga
dapat dijadikan sebagai alat bukti seandainya ada pihak yang akan menggugat di
kemudian hari.
Hal semacam ini
mengandung hikmah supaya perkawinan yang dilangsungkan itubetul-betul diteliti
terlebih dahulu dan seorang yang akan mau menikah harus mempunyai niat yang
sungguh-sungguh agar tidak ada penyesalan dalam pernikahan.
Dalam Fiqh Sunnah
dijelaskan bahwa kufu’ diukur ketika berlangsungnya akadnikah. Jika selesai
akad nikah terjadi kekurangan-kekurangan, hal itu tidaklah mengganggu dan tidak
dapat membatalkan sedikitpun apa yang sudah terjadi, serta tidak mempengaruhi hukum
akad nikahnya. Jika pada waktu berlakunya akad nikah, suami memiliki pekerjaan terhormat
dan mampu memberi nafkah istrinya atau dia seorang yang salah, tetapi di kemudian hari ada perubahan, misalnya
pekerjaannya kasar, atau tidak mampu lagi memberi nafkah, atau setelah kawin
berbuat durhaka kepada Allah, maka akad nikahnya tetap sah seperti sebelumnya.
Memang masa itu berbolak-balik dan manusia tidak selamanya langgeng keadaannya
dalam satu sifat saja. Karena itulah istri harus dapat menerima kenyataannya,
bersabar dan bertaqwa kepada Allah. Karena sabar dan bertakwa kepada Allah
merupakan watak orang-orang yang besar.[28]
DAFTAR PUSTAKA
1 Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, Cet ke-3, Jakarta:
Kencana, 2009, hlm. 140
2 Kamal Mukhtar, “Asas-asas Hukum Islam tentang
Perkawinan”, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm.. 69.
3 M. Abdul Mujib dkk, “Kamus Istilah Fikih”,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 147.
4 Abdul Rahman Ghozali, “Fiqh Munakahat”, Cet
ke-3, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, hlm. 96
5 Tihami dan Sohari Sahrani, “Fikih Munakahat Kajian
Fikih Nikah Lengkap ”, Serang: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 56.
6. Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim Al-Mughiroh bin Bardizbah Al-Ju‟fiy Al-Bukhori, “Shahih
Bukhari”, Tk: Daar Ihya‟, t.th, Vol XVIII, hlm. 27.
7. Mugniyah,
Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab.., hlm.350
8. Al-Hamdani, Risalah
Nikah (Hukum Pernikahan Islam).., hlm. 23
9. Muhammad
Thalib, “Manajemen Keluarga Sakinah”, Yogyakarta: Pro-U Media, 2007,
hlm. 127
10. Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, Cet ke-3,
Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 143.
11. Wahbah az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta:
Gema Insani, 2011, hlm. 226.
12. M. A. Tihami, Sohari Sahrani, “Fikih Munakahat:
Kajian Fikih Lengkap”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 56
13. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta:
Gema Insani, 2011, hlm. 223.
14. Wahbah az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta:
Gema Insani, 2011, hlm. 224.
15. Sayyid Sabiq, “Fikih Sunnah”, Bandung:
Al-ma‟arif, 1997, hlm. 45.
16. Muhammad Jawad Mughniyah, “Fiqh Al-Imam Ja‟far
Ash-Shadiq Ardh Wal Istidlal”, Jakarta: Lentera, 2009, Vol V dan VI, hlm.
317.
17. Sayyid Sabiq, “Fikih Sunnah”, Bandung:
Al-ma‟arif, 1997, hlm. 45
18. Syaikh Ahmad Jad, “Fikih Sunnah Wanita”, Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 399.
19. Wahbah
Az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 225.
2O. Ibid, hlm. 224.
21. Wahbah
az-Zuhaili, “Fiqih Islam 9”, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 224.
22 Muhammad
Thalib, “Manajemen Keluarga Sakinah”, Yogyakarta: Pro-U Media, 2007,
hlm. 152.
23. Muhammad Thalib, “Manajemen Keluarga Sakinah”, Yogyakarta:
Pro-U Media, 2007, hlm. 152
24. Sayyid
Sabiq, “Fikih Sunnah”, Bandung: Al-ma‟arif, 1997, hlm. 47.
25. Ibid,, hlm. 47
26. Abdul Rahman
Ghozali, “Fiqh Munakahat”, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 97
27. H. S. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum
Perkawinan Islam, hlm. 105
28. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 3, Terjemah
oleh Nur Hasanuddin, hlm. 38
0 Response to "KAFAAH PERNIKAHAN"
Post a Comment