AKAD NIKAH


     A.  Pengertian Akad Nikah
Akad berasal dari kata bahasa Arab yaitu عَقَدََ يََ عْقِدَُ عََقْدًا - - yang berarti menyimpulkan atau membuhul tali. Secara terminologi Fiqh, akad adalah pertalian Ijab ( pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul ( pernyataan penerima ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan.1 Akad adalah gabungan Ijab salah satu dari dua pembicara serta penerimaan yang lain. Nikah berasal dari kata bahasa Arab, yaitu النكاح yang berarti bercampur. Secara terminologi Fiqh, nikah adalah akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam lafaz akad) lafazh nikah atau kawin atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.2 Akad Nikah adalah perjanjian yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama sedangkan Qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Akad nikah merupakan wujud nyata sebuah ikatan antara seorang laki-laki yang menjadi suami dengan seorang wanita sebagi istri, yang dilakukan didepan dua saksi, dengan menggunakan shighat ijab dan qabul. Jadi, akad nikah perjanjian dalam suatu ikatan perkawinan yang dilakukan oleh mempelai laki-laki dengan wali dari pihak mempelai wanita dengan shighat ijab dan qabul. Pernyataan uang menunjukkan kemauan membentuk hubungan suami istri dari pihak mempelai wanita disebut ijab. Sedangkan pernyataan yang diucapkan oleh pihak mempelai laki-laki untuk menyatakan ridha dan setuju disebut qabul. Kedua pernyataan antara ijab dan qabul inilah yang dinamakan akad dalam pernikahan.
Ijab merupakan pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keingiana secara pasti untuk mengikat diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain uang mengetahui dirinya menerima pernyataan ijab. Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita atau wakilnya, sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai laki-laki. Qabul yang diucapkan hendaknya dinyatakan dengan kata-kata yang menunjukkan kerelaan secara tegas.
baca juga:
Saksi  Dalam Pernikahan 
Mahar Pernikahan
Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Walimatul Ursy

  B.   Dasar Hukum Akad Nikah
Dalam suatu pernikahan, akad nikah merupakan sesuatu yang wajib adanya, karena ia adalah salah satu rukun dalam pernikahan. Dasar hukum wajibnya akad nikah dalam suatu pernikahan yaitu Firman Allah “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa’(4): 21). Ayat tersebut menunjukkan bahwa harus adanya perjanjian yang dilakukan dalam suatu pernikahan sebagai ikatan dalam perkawinan antara mempelai laki-laki dan wanita. Perjanjian inilah yang disebut akad nikah.

     C.    Rukun dan Syarat Akad Nikah
1.      Rukun akad Nikah
Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan dan sesuatu itu bermaksud dalam rangkaian pekerjaan. Adapun rukun dalam sebuah pernikahan, yaitu:
a)      Adanya Calon Mempelai
b)      Wali Nikah
Wali nikah yang rukun akad nikah adalah wali nasab yaitu wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita. Wali nasab dapat digantikan oleh wali hakim yaitu petugas pencatat nikah.
c)      Saksi
Saksi dalam pernikahan harus terdiri dari dua orang yang memenuhi syarat.
d)     Ijab dan Qabul
Ijab adalah penegasan kehendak untuk mengikat diri dalam ikatan perkawinan dari wali pihak perempuan kepada calon mempelai pria. Qabul adalah penegasan untuk menerima ikatan perkawinan tersebut yang diucapkan oleh mempelai pria.

2.      Syarat Akad Nikah
a)    Syarat Sah Nikah
Syarat Sah Nikah adalah yang membuat akad itu menimbulkan beberapa hukum.

Ø Adanya saksi
Tujuan adanya saksi adalah memelihara ingatan yang benar karena khawatir lupa. Sedangkan saksi dalam pernikahan hukumnya wajib karena beberapa alasan.
Ø Wanita yang Dinikahi Bukan Mahram
Wanita yang dinikahi syaratnya bukan yang diharamkan selamanya seperti ibu dan saudara perempuan atau haram secara temporal seperti saudara perempuan istri atau bibi.
Ø  Shighat Nikah
Shighat akad memberi makna untuk selamanya. Artinya tidak ada kata yang menunjukkan pembatasan waktu dalam pernikahan, baik dinyatakan maupun tidak dinyatakan, baik dalam masa yang lama maupun masa yang pendek. Pernikahan yang dibatasi dengan waktu adalah Fasid karena tidak bertujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam pernikahan syar’I. 3
b)      Syarat pelaksanaan Akad
Tuntutan syarat pelaksanaan akad adalah bergantungnya akad pada izin dari orang yang mempunyai hak izin ketika tidak adanya syarat.
Ø Masing-masing suami istri sempurna keahliannya (kelayakan) dalam penguasaan akad, baik dilaksanakan sendiri maupun diwakilkan kepada orang lain. Maksud kesempurnaan keahlian akad adalah baligh dan berakal. Selama masing-masing dari dua orang yang melaksanakan akad berakal dan baligh berarti dapat melaksanakan akad dan menimbulkan pengaruh konsekuensi kehalalan bercampur, kewajiban mahar.
Ø Masing-masing dari dua orang yang melaksanakan akad hendaknya mempunyai sifat penguasaan akad.
Ø Disyaratkan dalam pernikahan dengan perwakilan, hendaknya wakil tidak menyalahi perkara yang diwakilkan. Jika ia menyalahinya akadnya terhenti pada izin orang yang terwakili.
Ø Jika yang melaksanakan akad itu bukan wali atau setelahnya, sedangkan ada yang lebih dekat tidak ada di tempat, dan telah dilaksanakan akad kemudian hadirlah wali yang terdekat, ia boleh memilih antara izin akad wali yang jauh dan membatalkanya. Misalnya seseorang menikahkan saudara perempuannya padahal ketika itu ayahnya ada maka akad tidak dapat dilkasanakan kecuali ada izin dari ayahnya jika ingin menyempurnakan syarat-syarat perwalian.
c)      Syarat-syarat dalam Ijab Qabul
Akad nikah yang dinyatakan dengan pernyataan ijab dan qabul, baru dianggap sah dan mempunyai akibat hukum pada suami istri apabila terpenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
Ø  Kedua belah pihak uang emlakukan akad, baik wali maupun mempelai laki-laki adalah orang yang sudah dewasa atau baligh dan sehat
Ø  Ijab dan qabul dilaksanakan dalam satu majelis
Artinya, ketika mengucapkan ijab dan qabul, tidak boleh diselingi dengan kata-kata atau perbuatan lain yang dapat dikatakan memisahkan antara shighat ijab dan shighat qabul dan menghalangi peristiwa ijab dan qabul.
Ø  Ucapan qabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab
Artinya, maksud dan tujuannya sama, kecuali bila qabulnya lebih baik dari ijab yang seharusnya, dan menunjukan pernyataan persetujuan lebih tegas.
Ø  Ijab dan qabul harus dilakukan dengan lisan dan didengar oleh masing masing pihak, baik wali, mempelai maupun saksi.

      D.    Macam-macam Akad Nikah
1.      Akad Nikah Sah Murni
Pernikahan sah murni adalah yang memenuhi segala persyaratan akad, segala syarat sah, dan segala syarat pelaksanaan yakni kedua orang yang berakad, ahli dalam melaksanakan akad, shighatnya menunjukkan pemilikan kesenangan abadi, menyatu dalam satu majelis Ijab Qabul, tidak terjadi perbedaan antara mereka berdua, masing masing peng-ijab dan peng-qabul mendengar suara yang lain. Ketika berkumpul beberapa syarat tersebut maka akad pernikahan menjadi sah murni dan menimbulkan pengaruh syara’.
2.      Akad Nikah yang Bergantung
Akad nikah yang bergantung adalah akad shahih yang berhenti pada izin orang yang mempunyai kekuasaan, seperti akad pernikahan anak kecil yang sudah mumayiz terhenti pada izin walinya,
3.      Akad Nikah yang Rusak
Ulama Hanafiyah membedakan antara akad batil dan fasid (rusak), akad batil adalah sesuatu yang tidak disyaratkan pokok dan sifat. Sedangkan fasid adalah sesuatu yang disyariatkan pokonya, tidak ada sifatnya, yaitu sesuatu yang hilang dari satu dari beberapa syarat sperti akad tanpa saksi. Hukum akad fasid (rusak) tidak mewajibkan sesuatu dipengaruh-pengaruh pernikahan.
4.      Akad Nikah Batil
Akad batil adalah semua akad yang terjadi kecacatan dalam shighat (ijab qabul). Jika akad pernikahan tidak memenuhi syarat dan rukun secara syara’ maka hukumnya batil. Jadi, jika cacat terjadi pada rukun akad maka disebut batil dan jika terjadi diluar rukun akad maka disebut Fasid (rusak), seperti mempersyaratkan suatu syarat yang tidak diperlukan dalam akad.

    E.     Shighat Akad ( Lafal Akad )
Shighat akad adalah Ijab dan Qabul. Keduanya menjadi rukun akad. Bergantung pada keduanyalah hakikat sesuatu dan wujudnya secara syarat. Shighat akad berbentuk kata kerja ( Fi’il ). Lafal yang mengungkap Ijab Qabul yang menunjukan penyelenggaraan akad berbentuk kata kerja. Pada dasarnya lafal yang digunakan mengungkap penyelenggaraan akad dalam syara’ hendaknya dengan Fi’il Madhi (kata kerja masa lampau). Hal ini dikarenakan fi’il madhi merupakan bentuk kalimat yang mengungkapkan penyelenggaraan akad dalam bahasa Arab, seperti Zawwajtu atau tazawwajtu (aku nikahkan engkau), ungkapan inilah yang kemudian disebut ijab. Kemudian dijawab, radhitu (aku ridha), dan wafaqtu (aku setuju), yang kemudian disebut qabul.
Terkadang masing-masing ijab dan qabul atau salah satunya menggunakan jumlah, bentuk kalimat tersebut menunjukkan makna tetap dan kontinu atau terus menerus, seperti perkataan seorang laki-laki kepada perempuan: Ana zawjuki (Aku Suamimu) kemudian dijawab: Ana zawjatuka (Aku Istrimu). Atau calon suami berkata: Ana zawjuki (Aku Suamimu) dan dijawab oleh calon istri: Qabiltu zawajaka ( aku terima pernikahanmu).
Terkadang Ijab mengunakan Fi’il Mudhari’ ( kata kerja bentuk sedang atau akan datang ) yaitu menyepakati akad waktu sekarang sehingga tidak menentang dan tidak menuntut janji dari pihak lawan. Oleh karena itu, jika seorang laki laki (calon suami) kepada wali berkata: Tuzawwijuni ibnaka (engkau nikahkan aku dengan putrimu). Kemudian dijawab: Na’am atau Zawwajtuka iyyaha (aku nikahkan engkau dengannya). Yang pertama disebut ijab dan yang kedua disebut qabul.
Demikian pula ijab dari bentuk kalimat perintah (fiil amar). Bentuk kalimat ini pada dasarnya untuk menuntut terselesaikannya pekerjaan pada waktu yang akan datang, tetapi dapat pula digunakan dalam menciptakan akad nikah. Seperti seorang laki-laki berkata: “ Zawwijni nafsaki (nikahkan aku akan dirimu) dengan maksud menciptakan akad bukan semata-mata meminang atau ingin mengetahui kecintaannya. Wanita itu lalu menjawab: Zawwajtuka nafsi (aku nikahkan engkau dengan diriku). Dengan demikian, sahlah akad pernikahan tersebut dan tidak perlu kalimat lain dari pihak laki-laki.
Sebagian ulama mengatakan, bentuk kalimat amar terhitung menjadi bagian atau perwakilan dari satu pihak kepada pihak lain. Jika peminang mengatakan “nikahkan aku”. Pihak kedua lain menjawab:”aku terima” maka berarti ia melaksanakannya. Akad nikah mejadi sah sehingga timbullah hak atas penguasaan diri seseorang dari kedua belah pihak.4

     F.      Pendapat Fuqaha’ tentang Lafaz Akad Nikah
Hendaknya lafal yang digunakan menunjukkan pernikahan baik dalam makna yang sebenarnya ( makna Hakikat) secara bahasa maupun makna Kiasan (majaz) yang sudah terkenal, atau sampai ketingkat makna kiasan yang sebenarnya dalam bahasa maupun makna kiasan yang disertai keterangan. Dengan demikian, maka lafal tersebut mejadi jelas dalam akad pernikahan Lafal tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut:
Pertama, menggunakan lafal yang jelas ( sharih ) menunjukkan pada makna pernikahan secara hakiki, yaitu yang dikandung dalam lafaz nikah, tazwij.
Kedua, menggunakan lafal kiasan ( majaz ) yang maksudnya ditunjukkan untuk keterangan kondisi, misalnya kata Hibah ( pemberian ), shadaqah, pemilikan dan hadiah. Dikalangan Ulama Fiqh terdapat empat pendapat, yaitu sebagai Berikut.

1.      Pendapat Asy-Syafi’iyah dan Hanabilah
Tidak sah akad Nikah kecuali dengan menggunakan lafal Nikah (النكاح ) atau zawaj ( الزواج ). Mereka mengatakan, sesungguhnya kalimat Allah yang menghalalkan faraj didalam al Qur’an hanya kata nikah dan tazwij. Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu ( QS. An-Nur(24):32). Mereka juga mengatakan bahwa akad nikah harus ada persaksian dan persaksian itu harus mengunakan lafal yang menunjuk nikah secara jelas, tidak kiasan. Tidak ada lafal yang menunjukan pernikahan secar jelas melainkan kata Nikah dan Zawaj.

2.      Pendapat Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah memperluas lafal yang menunjukkan pada sahnya akad. Menurutnya, sebagaimana akad nikah apabila sah menggunakan lafal sharih , maka sah pula menggunakan lafal kiasan. Bahkan mereka memperbolehkan mengunakan kata البيع ( jual beli), yang penting ada keterangan bahwa itu menunjukan pada makna nikah.

3.      Pendapat Ulama Malikiyah
Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa secara Khusus, shigat akad nikah mempunyai tiga bentuk, yaitu nikah ( pernikahan), zawaj (perkawinan), dan hibah (pemberian). Tetapi shighat lafal hibah wajib dibarengi penyebutan mahar (maskawin) tertentu. Tidak sah akad nikah yang menggunakan kata hibah tidak dibarengi dengan penyebutan mahar tertentu atau penyerahan diri menurut pendapat yang masyhur.

4.      Pendapat Ulama Zhahiriyah
Kaum Zhahiriyah berpendapat bahwa akad nikah tidak sah kecuali menggunakan lafal inkah, tazwij dan tamlik ( pemilikan). Adapun menikah dengan menggunakan lafal hibah adalah diantara kekhususan Rasulullah. Dengan demikian, akad nikah memngunakan lafal hibah bagi selain Rasulullah hukumnya batil.

     G.     Hukum Pelaksanaan Akad Nikah dengan Tulisan, Isyarat
Asalnya akad Nikah harus diucapkan dengan lafal yang menunjukkan timbulnya akad dengan ungkapan yang jelas, tidak ada kemungkinan makna lain, baik kemungkinan makna lain yang sama kuat atau lebih unggul, kedua belah pihak harus hadir di majelis akad dan keduanya harus ada kemampuan untuk menggucapkannya. Dengan demikian, tidak sah akad nikah dengan tulisan dan tidak sah pula dengan isyarat walaupun ditemukan bukti yang ada dan jelas maksudnya, karena masing masing tulisan dan isyarat terdapat kemungkinan diasumsikan bukan untuk penyelenggaraan akad.
Akad nikah sah sempurna dengan tulisan apabila masing-masing kedua belah pihak atau salah satunya bisu (tidak bisa bicara)tetapi mengerti tulisan. Demikian pula akad boleh dilakukan dengan isyarat yang dapat dipahami jika mereka atau salah satunya bisu dan tidak paham dengan tulisan menurut kesepakatan fuqaha’. Akan tetapi, jika mereka mengerti tulisan maka akad nikah tidak boleh menggunakan isyarat menurut mayoritas Fuqaha’. Dalam pengungkapan lafal, akad tidak boleh pindah dari alat yang tinggi kepada alat yang lebih rendah. Tulisan lebih jelas maksud dan lebih tegas petunjuknya daripada isyarat. Sedangkan hukum Akad Nikah dengan perbuatan, fuqaha’sepakat tidak sah akad nikah dengan perbuatan seperti mengulurkan tangan, berbeda dengan transaksi lain seperti jual beli. Misalnya, jika seorang laki-laki berkata kepada wali dihadapan para saksi: “Nikahkan aku dengan putrid engkau dengan mahar sekian”. Kemudian wali mengulurkan tangannya untuk mengambil sejumlah mahar tanpa mengucapkan sesuatu yang bermakna qabul, maka tidak sah akad nikahnya. Hal tersebut dikarenakan nikah agung kondisinya dan tinggi kedudukannya, tidak sama dengan akad-akad yang lain. Akad nikah harus dipelihara dari kemungkinan berbagai arti lain.5 Demikian juga jika seorang wali berkata kepada laki laki: “Aku nikahkan engkau dengan Fulannah yang mewakilkan aku dengan mahar sekian”. Kemudian laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk berjabatan tangan dengan wali setelah ungkapan ijab darinya sebagai tanda ridha dan kegembirannya atas apa yang dikatakannya, maka tidak sah akad nikahnya.

DAFTAR PUSTAKA
1Muhammad Abdul Wahab, Teori Akad dalam Fiqh Muamalah,( Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2019),hlm. 9
2Wahyu Wibisana, “Pernikahan Dalam Islam”. Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, Vol.14 No.2, 2006, hlm. 186
3Sayyid Sabiq, Ringkasan Fiqh Sunnah, (Depok:Senja Media Utama, 2016) hlm. 371
4Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, (Jakarta: AMZAH, 2009), hal 60
5Ibid., hlm. 69


kuliah0nline Nama panggilan saya Devid. Saya sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi yang ada di sumatera barat dengan jurusan Hukum Keluarga

0 Response to "AKAD NIKAH"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel