AKAD NIKAH
Wednesday, July 8, 2020
Add Comment
A. Pengertian Akad Nikah
Akad berasal
dari kata bahasa Arab yaitu عَقَدََ يََ عْقِدَُ عََقْدًا -
- yang berarti menyimpulkan atau membuhul tali. Secara terminologi Fiqh, akad
adalah pertalian Ijab ( pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul ( pernyataan
penerima ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek
perikatan.1 Akad adalah gabungan Ijab salah satu dari dua pembicara
serta penerimaan yang lain. Nikah berasal dari kata bahasa Arab, yaitu النكاح yang berarti
bercampur. Secara terminologi Fiqh, nikah adalah akad yang membawa kebolehan
(bagi seorang laki-laki untuk berhubungan dengan seorang perempuan) dengan
(diawali dalam lafaz akad) lafazh nikah atau kawin atau makna yang serupa
dengan kedua kata tersebut.2 Akad Nikah adalah perjanjian yang
melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Ijab adalah penyerahan
dari pihak pertama sedangkan Qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Akad nikah
merupakan wujud nyata sebuah ikatan antara seorang laki-laki yang menjadi suami
dengan seorang wanita sebagi istri, yang dilakukan didepan dua saksi, dengan
menggunakan shighat ijab dan qabul. Jadi, akad nikah perjanjian dalam suatu
ikatan perkawinan yang dilakukan oleh mempelai laki-laki dengan wali dari pihak
mempelai wanita dengan shighat ijab dan qabul. Pernyataan uang menunjukkan
kemauan membentuk hubungan suami istri dari pihak mempelai wanita disebut ijab.
Sedangkan pernyataan yang diucapkan oleh pihak mempelai laki-laki untuk
menyatakan ridha dan setuju disebut qabul. Kedua pernyataan antara ijab dan
qabul inilah yang dinamakan akad dalam pernikahan.
Ijab merupakan
pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung
keingiana secara pasti untuk mengikat diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan
pihak lain uang mengetahui dirinya menerima pernyataan ijab. Ijab dilakukan
oleh pihak wali mempelai wanita atau wakilnya, sedangkan qabul dilakukan oleh
mempelai laki-laki. Qabul yang diucapkan hendaknya dinyatakan dengan kata-kata
yang menunjukkan kerelaan secara tegas.
baca juga:
Saksi Dalam Pernikahan
Mahar Pernikahan
Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Walimatul Ursy
baca juga:
Saksi Dalam Pernikahan
Mahar Pernikahan
Hak Dan Kewajiban Suami Istri
Walimatul Ursy
B.
Dasar
Hukum Akad Nikah
Dalam suatu
pernikahan, akad nikah merupakan sesuatu yang wajib adanya, karena ia adalah
salah satu rukun dalam pernikahan. Dasar hukum wajibnya akad nikah dalam suatu
pernikahan yaitu Firman Allah “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian
yang kuat.” (QS. An-Nisa’(4): 21). Ayat tersebut menunjukkan bahwa harus
adanya perjanjian yang dilakukan dalam suatu pernikahan sebagai ikatan dalam
perkawinan antara mempelai laki-laki dan wanita. Perjanjian inilah yang disebut
akad nikah.
C.
Rukun
dan Syarat Akad Nikah
1. Rukun akad Nikah
Rukun
adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan
dan sesuatu itu bermaksud dalam rangkaian pekerjaan. Adapun rukun dalam sebuah
pernikahan, yaitu:
a) Adanya
Calon Mempelai
b) Wali
Nikah
Wali nikah yang rukun
akad nikah adalah wali nasab yaitu wali yang mempunyai hubungan darah dengan
calon mempelai wanita. Wali nasab dapat digantikan oleh wali hakim yaitu
petugas pencatat nikah.
c) Saksi
Saksi
dalam pernikahan harus terdiri dari dua orang yang memenuhi syarat.
d) Ijab
dan Qabul
Ijab
adalah penegasan kehendak untuk mengikat diri dalam ikatan perkawinan dari wali
pihak perempuan kepada calon mempelai pria. Qabul adalah penegasan untuk
menerima ikatan perkawinan tersebut yang diucapkan oleh mempelai pria.
2.
Syarat
Akad Nikah
a) Syarat
Sah Nikah
Syarat
Sah Nikah adalah yang membuat akad itu menimbulkan beberapa hukum.
Ø Adanya
saksi
Tujuan
adanya saksi adalah memelihara ingatan yang benar karena khawatir lupa.
Sedangkan saksi dalam pernikahan hukumnya wajib karena beberapa alasan.
Ø Wanita
yang Dinikahi Bukan Mahram
Wanita
yang dinikahi syaratnya bukan yang diharamkan selamanya seperti ibu dan saudara
perempuan atau haram secara temporal seperti saudara perempuan istri atau bibi.
Ø Shighat
Nikah
Shighat
akad memberi makna untuk selamanya. Artinya tidak ada kata yang menunjukkan pembatasan
waktu dalam pernikahan, baik dinyatakan maupun tidak dinyatakan, baik dalam
masa yang lama maupun masa yang pendek. Pernikahan yang dibatasi dengan waktu
adalah Fasid karena tidak bertujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam
pernikahan syar’I. 3
b) Syarat
pelaksanaan Akad
Tuntutan
syarat pelaksanaan akad adalah bergantungnya akad pada izin dari orang yang
mempunyai hak izin ketika tidak adanya syarat.
Ø Masing-masing
suami istri sempurna keahliannya (kelayakan) dalam penguasaan akad, baik
dilaksanakan sendiri maupun diwakilkan kepada orang lain. Maksud kesempurnaan
keahlian akad adalah baligh dan berakal. Selama masing-masing dari dua orang
yang melaksanakan akad berakal dan baligh berarti dapat melaksanakan akad dan
menimbulkan pengaruh konsekuensi kehalalan bercampur, kewajiban mahar.
Ø Masing-masing
dari dua orang yang melaksanakan akad hendaknya mempunyai sifat penguasaan
akad.
Ø Disyaratkan
dalam pernikahan dengan perwakilan, hendaknya wakil tidak menyalahi perkara
yang diwakilkan. Jika ia menyalahinya akadnya terhenti pada izin orang yang
terwakili.
Ø Jika
yang melaksanakan akad itu bukan wali atau setelahnya, sedangkan ada yang lebih
dekat tidak ada di tempat, dan telah dilaksanakan akad kemudian hadirlah wali
yang terdekat, ia boleh memilih antara izin akad wali yang jauh dan
membatalkanya. Misalnya seseorang menikahkan saudara perempuannya padahal
ketika itu ayahnya ada maka akad tidak dapat dilkasanakan kecuali ada izin dari
ayahnya jika ingin menyempurnakan syarat-syarat perwalian.
c) Syarat-syarat
dalam Ijab Qabul
Akad
nikah yang dinyatakan dengan pernyataan ijab dan qabul, baru dianggap sah dan
mempunyai akibat hukum pada suami istri apabila terpenuhi beberapa syarat
sebagai berikut:
Ø Kedua
belah pihak uang emlakukan akad, baik wali maupun mempelai laki-laki adalah
orang yang sudah dewasa atau baligh dan sehat
Ø Ijab
dan qabul dilaksanakan dalam satu majelis
Artinya,
ketika mengucapkan ijab dan qabul, tidak boleh diselingi dengan kata-kata atau
perbuatan lain yang dapat dikatakan memisahkan antara shighat ijab dan shighat
qabul dan menghalangi peristiwa ijab dan qabul.
Ø Ucapan
qabul hendaknya tidak menyalahi ucapan ijab
Artinya,
maksud dan tujuannya sama, kecuali bila qabulnya lebih baik dari ijab yang
seharusnya, dan menunjukan pernyataan persetujuan lebih tegas.
Ø Ijab
dan qabul harus dilakukan dengan lisan dan didengar oleh masing masing pihak,
baik wali, mempelai maupun saksi.
D. Macam-macam Akad Nikah
1. Akad Nikah Sah Murni
Pernikahan
sah murni adalah yang memenuhi segala persyaratan akad, segala syarat sah, dan
segala syarat pelaksanaan yakni kedua orang yang berakad, ahli dalam
melaksanakan akad, shighatnya menunjukkan pemilikan kesenangan abadi, menyatu
dalam satu majelis Ijab Qabul, tidak terjadi perbedaan antara mereka berdua,
masing masing peng-ijab dan peng-qabul mendengar suara yang lain. Ketika
berkumpul beberapa syarat tersebut maka akad pernikahan menjadi sah murni dan
menimbulkan pengaruh syara’.
2. Akad Nikah yang Bergantung
Akad
nikah yang bergantung adalah akad shahih yang berhenti pada izin orang yang
mempunyai kekuasaan, seperti akad pernikahan anak kecil yang sudah mumayiz
terhenti pada izin walinya,
3. Akad Nikah yang Rusak
Ulama
Hanafiyah membedakan antara akad batil dan fasid (rusak), akad batil adalah
sesuatu yang tidak disyaratkan pokok dan sifat. Sedangkan fasid adalah sesuatu
yang disyariatkan pokonya, tidak ada sifatnya, yaitu sesuatu yang hilang dari
satu dari beberapa syarat sperti akad tanpa saksi. Hukum akad fasid (rusak)
tidak mewajibkan sesuatu dipengaruh-pengaruh pernikahan.
4. Akad Nikah Batil
Akad
batil adalah semua akad yang terjadi kecacatan dalam shighat (ijab qabul). Jika
akad pernikahan tidak memenuhi syarat dan rukun secara syara’ maka hukumnya
batil. Jadi, jika cacat terjadi pada rukun akad maka disebut batil dan jika
terjadi diluar rukun akad maka disebut Fasid (rusak), seperti mempersyaratkan
suatu syarat yang tidak diperlukan dalam akad.
E. Shighat Akad ( Lafal Akad )
Shighat akad
adalah Ijab dan Qabul. Keduanya menjadi rukun akad. Bergantung pada keduanyalah
hakikat sesuatu dan wujudnya secara syarat. Shighat akad berbentuk kata kerja (
Fi’il ). Lafal yang mengungkap Ijab Qabul yang menunjukan penyelenggaraan akad
berbentuk kata kerja. Pada dasarnya lafal yang digunakan mengungkap
penyelenggaraan akad dalam syara’ hendaknya dengan Fi’il Madhi (kata kerja masa
lampau). Hal ini dikarenakan fi’il madhi merupakan bentuk kalimat yang
mengungkapkan penyelenggaraan akad dalam bahasa Arab, seperti Zawwajtu atau
tazawwajtu (aku nikahkan engkau), ungkapan inilah yang kemudian disebut
ijab. Kemudian dijawab, radhitu (aku ridha), dan wafaqtu (aku
setuju), yang kemudian disebut qabul.
Terkadang
masing-masing ijab dan qabul atau salah satunya menggunakan jumlah, bentuk
kalimat tersebut menunjukkan makna tetap dan kontinu atau terus menerus, seperti
perkataan seorang laki-laki kepada perempuan: Ana zawjuki (Aku Suamimu)
kemudian dijawab: Ana zawjatuka (Aku Istrimu). Atau calon suami berkata:
Ana zawjuki (Aku Suamimu) dan dijawab oleh calon istri: Qabiltu
zawajaka ( aku terima pernikahanmu).
Terkadang Ijab
mengunakan Fi’il Mudhari’ ( kata kerja bentuk sedang atau akan datang ) yaitu
menyepakati akad waktu sekarang sehingga tidak menentang dan tidak menuntut
janji dari pihak lawan. Oleh karena itu, jika seorang laki laki (calon suami)
kepada wali berkata: Tuzawwijuni ibnaka (engkau nikahkan aku dengan
putrimu). Kemudian dijawab: Na’am atau Zawwajtuka iyyaha (aku
nikahkan engkau dengannya). Yang pertama disebut ijab dan yang kedua disebut
qabul.
Demikian pula
ijab dari bentuk kalimat perintah (fiil amar). Bentuk kalimat ini pada
dasarnya untuk menuntut terselesaikannya pekerjaan pada waktu yang akan datang,
tetapi dapat pula digunakan dalam menciptakan akad nikah. Seperti seorang
laki-laki berkata: “ Zawwijni nafsaki (nikahkan aku akan dirimu) dengan
maksud menciptakan akad bukan semata-mata meminang atau ingin mengetahui
kecintaannya. Wanita itu lalu menjawab: Zawwajtuka nafsi (aku nikahkan
engkau dengan diriku). Dengan demikian, sahlah akad pernikahan tersebut dan
tidak perlu kalimat lain dari pihak laki-laki.
Sebagian ulama
mengatakan, bentuk kalimat amar terhitung menjadi bagian atau perwakilan dari
satu pihak kepada pihak lain. Jika peminang mengatakan “nikahkan aku”. Pihak
kedua lain menjawab:”aku terima” maka berarti ia melaksanakannya. Akad nikah
mejadi sah sehingga timbullah hak atas penguasaan diri seseorang dari kedua
belah pihak.4
F. Pendapat Fuqaha’ tentang Lafaz Akad Nikah
Hendaknya lafal
yang digunakan menunjukkan pernikahan baik dalam makna yang sebenarnya ( makna
Hakikat) secara bahasa maupun makna Kiasan (majaz) yang sudah terkenal, atau
sampai ketingkat makna kiasan yang sebenarnya dalam bahasa maupun makna kiasan
yang disertai keterangan. Dengan demikian, maka lafal tersebut mejadi jelas
dalam akad pernikahan Lafal tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu sebagai
berikut:
Pertama,
menggunakan
lafal yang jelas ( sharih ) menunjukkan pada makna pernikahan secara
hakiki, yaitu yang dikandung dalam lafaz nikah, tazwij.
Kedua,
menggunakan lafal kiasan ( majaz ) yang maksudnya ditunjukkan untuk keterangan
kondisi, misalnya kata Hibah ( pemberian ), shadaqah, pemilikan dan hadiah.
Dikalangan Ulama Fiqh terdapat empat pendapat, yaitu sebagai Berikut.
1. Pendapat Asy-Syafi’iyah dan Hanabilah
Tidak sah akad Nikah
kecuali dengan menggunakan lafal Nikah (النكاح
) atau zawaj ( الزواج ). Mereka mengatakan,
sesungguhnya kalimat Allah yang menghalalkan faraj didalam al Qur’an hanya kata
nikah dan tazwij. Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an: Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian diantara kamu ( QS. An-Nur(24):32). Mereka juga
mengatakan bahwa akad nikah harus ada persaksian dan persaksian itu harus
mengunakan lafal yang menunjuk nikah secara jelas, tidak kiasan. Tidak ada
lafal yang menunjukan pernikahan secar jelas melainkan kata Nikah dan Zawaj.
2. Pendapat Ulama Hanafiyah
Ulama
Hanafiyah memperluas lafal yang menunjukkan pada sahnya akad. Menurutnya,
sebagaimana akad nikah apabila sah menggunakan lafal sharih , maka sah
pula menggunakan lafal kiasan. Bahkan mereka memperbolehkan mengunakan kata البيع ( jual beli), yang penting ada keterangan
bahwa itu menunjukan pada makna nikah.
3. Pendapat Ulama Malikiyah
Mazhab
Malikiyah berpendapat bahwa secara Khusus, shigat akad nikah mempunyai tiga
bentuk, yaitu nikah ( pernikahan), zawaj (perkawinan), dan hibah
(pemberian). Tetapi shighat lafal hibah wajib dibarengi penyebutan mahar
(maskawin) tertentu. Tidak sah akad nikah yang menggunakan kata hibah tidak
dibarengi dengan penyebutan mahar tertentu atau penyerahan diri menurut
pendapat yang masyhur.
4. Pendapat Ulama Zhahiriyah
Kaum Zhahiriyah
berpendapat bahwa akad nikah tidak sah kecuali menggunakan lafal inkah,
tazwij dan tamlik ( pemilikan). Adapun menikah dengan menggunakan
lafal hibah adalah diantara kekhususan Rasulullah. Dengan demikian, akad nikah
memngunakan lafal hibah bagi selain Rasulullah hukumnya batil.
G. Hukum Pelaksanaan Akad Nikah dengan Tulisan, Isyarat
Asalnya
akad Nikah harus diucapkan dengan lafal yang menunjukkan timbulnya akad dengan
ungkapan yang jelas, tidak ada kemungkinan makna lain, baik kemungkinan makna
lain yang sama kuat atau lebih unggul, kedua belah pihak harus hadir di majelis
akad dan keduanya harus ada kemampuan untuk menggucapkannya. Dengan demikian,
tidak sah akad nikah dengan tulisan dan tidak sah pula dengan isyarat walaupun
ditemukan bukti yang ada dan jelas maksudnya, karena masing masing tulisan dan
isyarat terdapat kemungkinan diasumsikan bukan untuk penyelenggaraan akad.
Akad
nikah sah sempurna dengan tulisan apabila masing-masing kedua belah pihak atau
salah satunya bisu (tidak bisa bicara)tetapi mengerti tulisan. Demikian pula
akad boleh dilakukan dengan isyarat yang dapat dipahami jika mereka atau salah
satunya bisu dan tidak paham dengan tulisan menurut kesepakatan fuqaha’.
Akan tetapi, jika mereka mengerti tulisan maka akad nikah tidak boleh
menggunakan isyarat menurut mayoritas Fuqaha’. Dalam pengungkapan lafal,
akad tidak boleh pindah dari alat yang tinggi kepada alat yang lebih rendah.
Tulisan lebih jelas maksud dan lebih tegas petunjuknya daripada isyarat. Sedangkan
hukum Akad Nikah dengan perbuatan, fuqaha’sepakat tidak sah akad nikah dengan
perbuatan seperti mengulurkan tangan, berbeda dengan transaksi lain seperti
jual beli. Misalnya, jika seorang laki-laki berkata kepada wali dihadapan para
saksi: “Nikahkan aku dengan putrid engkau dengan mahar sekian”. Kemudian wali
mengulurkan tangannya untuk mengambil sejumlah mahar tanpa mengucapkan sesuatu
yang bermakna qabul, maka tidak sah akad nikahnya. Hal tersebut dikarenakan nikah
agung kondisinya dan tinggi kedudukannya, tidak sama dengan akad-akad yang
lain. Akad nikah harus dipelihara dari kemungkinan berbagai arti lain.5
Demikian juga jika seorang wali berkata kepada laki laki: “Aku nikahkan engkau
dengan Fulannah yang mewakilkan aku dengan mahar sekian”. Kemudian laki-laki
itu mengulurkan tangannya untuk berjabatan tangan dengan wali setelah ungkapan
ijab darinya sebagai tanda ridha dan kegembirannya atas apa yang dikatakannya,
maka tidak sah akad nikahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
1Muhammad
Abdul Wahab, Teori Akad dalam Fiqh Muamalah,( Jakarta: Rumah Fiqh
Publishing, 2019),hlm. 9
2Wahyu
Wibisana, “Pernikahan Dalam Islam”. Pendidikan Agama Islam-Ta’lim,
Vol.14 No.2, 2006, hlm. 186
3Sayyid
Sabiq, Ringkasan Fiqh Sunnah, (Depok:Senja Media Utama, 2016) hlm. 371
4Abdul
Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, (Jakarta: AMZAH, 2009), hal 60
5Ibid.,
hlm. 69
0 Response to "AKAD NIKAH"
Post a Comment